Oleh Ir. Muhibbullah Azfa Manik, MT

Akhir tahun lalu, Rahmat, seorang teman saya yang ahli dalam pengembangan bisnis telekomunikasi mendapatkan tawaran dari sebuah perusahaan berskala internasional untuk mengembangkan bisnisnya di Indonesia. Dia tertarik dan memutuskan untuk bergabung. Dia telah banyak mendengar tentang pimpinan perusahaan ini, yang sering diberitakan sebagai pemimpin visionaris dan legendaris.
Gaji Rahmat besar, perlengkapan kantornya mutakhir, teknologinya canggih, kebijakan SDM-nya pro-karyawan, kantornya megah di daerah segitiga emas, Jakarta. Bahkan kantinnya menyajikan makanan yang lezat dan murah. Dua kali dia dikirim keluar negeri untuk pelatihan. “Proses pembelajaran saya adalah yang tercepat di sini,” kata Rahmat. “Sungguh menakjubkan bekerja dengan dukungan teknologi mutakhir seperti di perusahaan ini”. Tambahnya lagi.
Siapa nyana dua minggu lalu, belum genap tujuh bulan bekerja di perusahaan itu, dia mengundurkan diri. Rahmat belum mendapatkan tawaran pekerjaan lain, tapi dia tidak sanggup lagi bertahan di sana. Belakangan, sejumlah karyawan di divisi yang sama dengannya ikut resigned. Direktur utama perusahaan itu pun merasa tertekan karena perputaran (turnover) karyawan sangat tinggi. Cemas memikirkan biaya yang sudah dikeluarkan perusahaan untuk alokasi dana pelatihan karyawan. Ia juga bingung lantaran tidak tahu apa gerangan yang terjadi. Mengapa karyawan yang bertalenta bagus ini mengundurkan diri, padahal gajinya sudah cukup tinggi?
Rahmat resigned karena beberapa alasan. Alasan ini juga yang menyebabkan sebagian besar karyawan lain yang bertalenta tinggi akhirnya mengundurkan diri. Kepada saya dia mengungkapkan bahwa selama ini hubungan Rahmat dengan atasannya ternyata kurang harmonis dan sering merasa dilecehkan. Dia bertahan selama hampir tujuh bulan hanya untuk melihat apakah dalam selang waktu itu kondisi tersebut dapat diperbaiki.
Beberapa survey membuktikan bahwa jika anda kehilangan karyawan berbakat, periksalah atasan langsung mereka. Si atasan adalah alasan utama karyawan tetap bekerja dan berkembang dalam suatu perusahaan. Namun dia jugalah yang menjadi alasan utama mengapa para karyawan berhenti dari pekerjaannya, membawa pergi pengetahuan, pengalaman dan klien mereka. Bahkan tidak jarang selanjutnya secara terang-terangan berkompetisi dengan perusahaan bekas tempatnya bekerja.
“Karyawan meninggalkan manajernya bukan perusahaannya,“ kata para ahli SDM. Begitu banyak uang yang telah dikeluarkan untuk tetap mempertahankan karyawan berbakat, baik dengan memberikan gaji lebih tinggi, bonus ekstra maupun pelatihan mahal. Namun pada akhirnya, perputaran karyawan kebanyakan disebabkan oleh manajer/pimpinannya, bukan oleh hal lain. Jika anda mengalami masalah turnover, maka pertama-tama periksalah kembali para manajer anda. Apakah mereka biang keladi yang membuat para karyawan tidak betah? Pada tahap tertentu, karyawan tidak lagi melihat jumlah uang yang ia dapatkan, tapi lebih kepada bagaimana mereka diperlakukan dan seberapa besar perusahaan menghargai mereka. Kedua hal ini umumnya tergantung dari sikap para pimpinan terhadap mereka. Dan sejauh ini, bekerja dengan atasan yang buruk sering dialami oleh para karyawan yang bekerja dengan baik. Survey majalah Fortune beberapa tahun lalu mengungkapkan bahwa 75% karyawan menderita karena berada di bawah atasan yang menyebalkan.
Dari seluruh penyebab stress ditempat kerja, seorang atasan yang jahat mungkin adalah hal yang terburuk,yang secara langsung akan mempengaruhi kinerja dan mental para karyawan. Simak saja kisah yang dikutip langsung dari”medan perang” ini. Surya seorang insinyur, masih bergidik saat membayangkan hari-hari dimana ia dimaki-maki bosnya di depan staf lainnya. Atasannya itu sering menghinanya dengan kata-kata yang kasar. Waktu menghadapi hal menakutkan itu, Surya praktis tak punya nyali untuk menjawab. Ia kembali ke rumah dengan perasaan tidak keruan dan mulai menjadi kasar seperti sang atasan. Bedanya kekesalan ini dilampiaskan ke istri dan anak-anaknya, kadang juga ke anjing peliharaannya. Lambat laun, bukan pekerjaan Surya saja yang kacau balau, pernikahan dan keluarganya pun hancur berantakan.
Nasib Bekti juga setali tiga uang. Menceritakan “penyiksaan” yang dilakukan oleh bosnya gara-gara ada perbedaan pendapat yang tidak terlalu penting antara keduanya. Atasan Bekti benar-benar menunjukkan rasa tidak suka terhadapnya. Ia tidak lagi diikut-sertakan dalam pengambilan keputusan. “Bahkan dia tidak lagi memberikan saya dokumen maupun pekerjaan baru,” keluh Bekti. “Sangat memalukan duduk di depan meja kosong tanpa tahu apapun dan tidak seorangpun yang membantu saya”. Lantaran tidak tahan lagi, lalu Bekti mengundurkan diri.
Para ahli SDM mengatakan, dari segala bentuk kekerasan, tindakan memperlakukan karyawan ditempat umum adalah yang terburuk. Pada awalnya, si karyawan mungkin tidak langsung mengundurkan diri, akan tetapi pikiran itu sudah tertanam. Jika kejadian terulang lagi, pikiran tersebut akan semakin kuat. Dan akhirnya, pada kejadian yang ketiga, karyawan itu akan mulai mencari pekerjaan lain. Ketika seseorang tidak bisa membalas kemarahannya, ia akan melakukan pembalasan “pasif”. Biasanya dengan cara memperlambat pekerjaan, berleha-leha, hanya melakukan pekerjaan yang disuruh atau menyembunyikan informasi penting. “Jika anda bekerja untuk orang yang menyebalkan, pada dasarnya anda ingin orang itu mendapat kesulitan. Jiwa dan pikiran kita tidak menyatu lagi dengan pekerjaan kita,” papar Bekti.
Para manajer bisa menekan bawahan melalui beragam cara. Misalnya dengan mengontrol bawahan secara berlebihan, curiga, menekan, terlalu kritis, bawel dan sebagainya. Namun para atasan tersebut tidak sadar bahwa karyawan bukan merupakan aset tetap, mereka adalah manusia bebas. Jika ini terus berlanjut, maka seorang karyawan akan mengundurkan diri, walau tampaknya cuma karena masalah sepele saja.
Bukan pukulan ke-100 yang menjatuhkan seseorang, tapi 99 pukulan yang diterima sebelumnya. Memang benar, karyawan meninggalkan pekerjaannya karena bermacam alasan untuk kesempatan yang lebih baik atau kondisi yang tidak memungkinkan lagi. Namun banyak yang semestinya tetap tinggal jika tidak ada satu orang (seperti atasan Rahmat) yang terus-menerus mengatakan,” Kamu tidak penting, saya bisa dapat lusinan orang yang lebih baik dari kamu!”.
Kendati tersedia segudang pekerja lain (terlebih dalam keadaan pengangguran tinggi sekarang ini), bayangkanlah sesaat, berapa biaya atas hilangnya seorang karyawan yang bertalenta tinggi.. Ada biaya yang harus dibayar untuk mencari pengganti, ada biaya pelatihan bagi pengganti karyawan tersebut. Belum lagi akibat yang ditimbulkan karena tidak ada orang yang mampu melakukan pekerjaan itu saat calon pengganti sedang dicari, kehilangan klien dan kontak yang dibawa pergi karyawan yang hengkang, penurunan moral karyawan lainnya, hilangnya rahasia penjualan dari karyawan tersebut yang seharusnya diinformasikan ke karyawan lainnya, dan yang terutama turunnya reputasi perusahaan. Lagi pula, setiap karyawan yang pergi, bagaimanapun juga akan menjadi”duta” untuk mewartakan hal yang baik maupun yang buruk dari perusahaan itu.
Saya teringat apa yang pernah ditulis oleh Jack Welch mantan orang nomor satu di General Electric, “Setiap perusahaan yang berusaha memenangkan persaingan harus memikirkan cara untuk mengikat jiwa setiap karyawannya,”. Umumnya nilai suatu perusahaan terletak “diantara telinga” para karyawannya. Karyawan juga manusia, punya mata, punya hati.

Penulis adalah dosen Matakuliah perancangan Organisasi di Jurusan tknik Industri Universitas Bung Hatta.

http://www.bunghatta.ac.id/artikel-288-kompensasi-bukanlah-segala-galanya.html

ANALISIS:
Berdasarkan artikel di atas dapat dikatakan bahwa kompensasi yang besar bukanlah suatu jaminan seorang karyawan dapat bertahan di suatu organisasi. Walaupun kompensasi merupakan alasan utama penentu kepuasan karyawan, karena kompensasi merupakan seluruh imbalan yang diterima karyawan atas hasil kerja karyawan tersebut pada organisasi. Kompensasi mengandung tidak sekadar hanya dalam bentuk finansial saja, seperti yang langsung berupa upah, gaji, komisi dan bonus serta tidak langsung berupa asuransi, bantuan sosial, uang cuti, uang pensiun, pendidikan dan sebagainya, tetapi juga bentuk bukan finansial. Bentuk ini berupa pekerjaan dan lingkungan pekerjaan. Bentuk pekerjaan berupa tanggungjawab, perhatian, kesempatan, dan penghargaan, sementara bentuk lingkungan pekerjaan berupa kondisi kerja, pembagian kerja, status dan kebijakan.